Pelajari Warisan Tempe Nusantara
Jelajahi sejarah, proses pembuatan, manfaat kesehatan, dan resep-resep lezat dari tempe tradisional Indonesia
Awal Mula
Turun Temurun
Kisah tempe di Desa Sentono, Klaten, tidak hanya sekadar cerita tentang sebuah produk makanan, melainkan juga narasi tentang transformasi ekonomi dan sosial. Sekitar lima dekade yang lalu, Desa Sentono adalah desa agraris yang tenteram, di mana denyut perekonomiannya bergantung sepenuhnya pada hasil panen sawah. Namun, sebuah perubahan besar dimulai pada awal tahun 1970-an, ketika seorang petani visioner bernama Mbah Karto melihat peluang ekonomi dari tempe di pasar kota. Bermodal sedikit uang dan tekad yang kuat, ia memulai produksi tempe secara tradisional di rumahnya. Dengan semangat gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat pedesaan, Mbah Karto dengan murah hati berbagi ilmu dan teknik pembuatan tempe dengan tetangga dan warga desa lainnya. Inisiatif sederhana ini menyebar cepat, hingga akhirnya, hampir setiap rumah tangga di Desa Sentono memiliki usaha tempe.
Sejak saat itu, Desa Sentono terus berkembang hingga kini dikenal sebagai salah satu sentra produksi tempe terbesar di Klaten dengan lebih dari 26 unit usaha aktif. Bahkan, tempe sendiri memiliki sejarah yang sangat panjang dan otentik di Klaten, di mana dokumentasi pertamanya ditemukan pada abad ke-16 di Desa Tembayat, dan tercatat dalam naskah kuno
Serat Centhini. Ini menjadikan Desa Sentono bukan hanya sebuah pusat produksi, melainkan juga penjaga warisan kuliner yang kaya dan memiliki makna sejarah mendalam. Sentra tempe di desa ini bahkan pernah menjadi lokasi Kuliah Kerja Nyata (KKN) bagi beberapa universitas, yang menunjukkan peran pentingnya dalam ekosistem akademik dan komunitas.
Meskipun memiliki basis produksi yang kuat, dengan perkiraan produksi mencapai lebih dari 5 ton tempe per hari, sebagian besar produsen di Desa Sentono masih berhadapan dengan tantangan modern yang mengancam keberlanjutan usaha mereka. Mereka terjebak dalam “jebakan komoditas,” di mana produk dijual dalam bentuk mentah dengan nilai rendah, memaksa produsen untuk bersaing hanya berdasarkan harga, bukan nilai tambah. Ketergantungan pada pemasaran konvensional di pasar-pasar lokal menciptakan persaingan harga yang ketat, membuat margin keuntungan menjadi sangat tipis.
Tantangan ini juga diperparah dengan dua faktor utama: perubahan selera konsumen dan minimnya literasi digital. Masyarakat, terutama generasi muda, kini lebih tertarik pada makanan cepat saji dan modern yang menawarkan kemudahan dan penyajian yang menarik. Akibatnya, UMKM makanan tradisional seperti tempe sering kali mengalami penurunan penjualan, seperti yang dialami oleh beberapa pemilik usaha katering yang harus berinovasi dengan menjual makanan kering untuk bertahan. Kesenjangan ini menempatkan UMKM tempe tradisional pada posisi yang sulit untuk tetap relevan. Di sisi lain, kurangnya pemahaman tentang pemasaran digital membatasi potensi ekonomi yang seharusnya jauh lebih besar. Masih banyak produsen yang belum mampu memanfaatkan media sosial atau platform e-commerce untuk memperluas jangkauan pasar, yang merupakan salah satu strategi paling efektif di era digital saat ini.
Jatuh Bangun
Koperasi Tempe Sentono Pernah Berjaya
Warisan semangat Mbah Karto terus hidup di Desa Sentono selama bertahun-tahun. Produksi tempe menjadi tulang punggung ekonomi desa, mengangkat harkat hidup banyak keluarga. Namun, seiring waktu, tantangan baru muncul. Para perajin tempe mulai bersaing satu sama lain untuk mendapatkan pasokan kedelai terbaik dan berebut lapak di pasar yang semakin ramai. Semangat kebersamaan yang dulu menjadi fondasi mulai terkikis oleh persaingan individu.
Di tengah situasi ini, muncullah seorang tokoh muda yang karismatik bernama Budi. Ia adalah putra salah satu perajin tempe generasi pertama yang belajar langsung dari Mbah Karto. Budi, yang sempat mengenyam pendidikan di kota, pulang dengan gagasan cemerlang: membentuk sebuah koperasi.
“Dengan bersatu dalam Koperasi Tempe Sentono Jaya,” orasinya di balai desa, “kita bisa membeli kedelai dalam jumlah besar dengan harga lebih murah! Kita bisa menetapkan standar kualitas agar tempe Sentono dikenal sebagai yang terbaik! Kita bisa menembus pasar-pasar besar di luar Klaten!”
Gagasan Budi disambut dengan antusias. Para perajin rindu akan semangat gotong royong Mbah Karto, dan Budi seakan menjadi napas baru bagi impian mereka. Koperasi pun berdiri, dan Budi terpilih secara aklamasi sebagai ketuanya.
Awalnya, koperasi menjadi berkah. Benar kata Budi, harga bahan baku menjadi lebih murah, dan dengan pemasaran yang terorganisir, tempe Sentono berhasil masuk ke supermarket-supermarket di Yogyakarta dan Solo. Kesejahteraan para anggota meningkat pesat. Budi dielu-elukan sebagai pahlawan, penerus visi Mbah Karto di era modern.
Namun, kejayaan sering kali menjadi ujian terberat bagi karakter seseorang. Dipuja dan dihormati, Budi mulai berubah. Rapat anggota yang dulu rutin diadakan untuk mengambil keputusan bersama, kini menjadi jarang. Budi mulai mengambil keputusan secara sepihak dengan alasan “efisiensi birokrasi”.
Keegoisan itu mulai merayap pelan. Budi membuat kesepakatan rahasia dengan pemasok kedelai, mengambil keuntungan pribadi dari setiap kilogram yang dibeli koperasi. Ia menciptakan lini produk “Tempe Super Premium” yang diproduksi oleh keluarganya sendiri. Tentu saja, produk premium inilah yang paling gencar dipromosikan dan didistribusikan oleh koperasi, sementara produk anggota biasa dianaktirikan.
Para anggota mulai merasakan ada yang tidak beres. Harga kedelai dari koperasi perlahan naik tanpa penjelasan yang masuk akal, sementara harga jual tempe mereka tidak kunjung meningkat. Kecurigaan dan bisik-bisik di antara para perajin mulai terdengar. Puncaknya adalah ketika salah seorang anggota menemukan bahwa harga kedelai di pasar luar ternyata lebih murah daripada harga yang ditetapkan koperasi.
Kepercayaan itu pecah berkeping-keping. Dalam sebuah rapat anggota yang berlangsung panas, kebohongan Budi terbongkar. Para perajin merasa dikhianati. Semangat kebersamaan yang susah payah dibangun kembali kini hancur lebur oleh keserakahan satu orang.
Satu per satu, para perajin tempe terbaik, yang memegang teguh resep dan kualitas warisan leluhur, memutuskan keluar dari koperasi. Mereka lebih memilih kembali berjuang sendiri daripada terus menerus dimanfaatkan. Koperasi Tempe Sentono Jaya, yang ditinggalkan oleh anggotanya, dengan cepat kehilangan pamor. Kualitasnya merosot, pesanan dari kota besar dibatalkan, dan utang menumpuk.
Akhirnya, bangunan koperasi yang megah itu terbengkalai, menjadi monumen bisu dari sebuah impian yang diruntuhkan oleh keegoisan. Desa Sentono kembali terpecah, para perajinnya kini bekerja dalam diam, menyimpan luka dan ketidakpercayaan. Meskipun kepulan asap dari dapur-dapur tempe masih ada, kehangatan semangat kebersamaan yang pernah menyatukan mereka telah lama sirna.
Ingin Belajar Langsung dari Ahlinya?
Kunjungi Desa Sentono dan ikuti workshop pembuatan tempe
langsung dari para pengrajin berpengalaman